Kamis, 07 Mei 2015

Suku Sumbawa

Suku Sumbawa atau Samawa adalah suku bangsa yang mendiami wilayah bagian barat dan tengah pulau Sumbawa (meliputi kabupaten Sumbawa dan Sumbawa barat), Nusa Tenggara Barat. Populasi suku Sumbawa adalah sekitar 500.000 orang. Suku Sumbawa tersebar di dua kabupaten, yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat yang meliputi kecamatan Empang di ujung timur hingga kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya.


Suku Sumbawa sendiri, selama beberapa abad ini mengalami percampuran dengan etnis pendatang, seperti etnis dari jawa, sumatra, sulawesi, kalimantan dan cina serta arab. Suku Sumbawa yang telah bercampur dengan etnis lain ini, biasanya bermukim di dataran rendah dan daerah-daerah pesisir. Sedangkan suku Sumbawa yang masih asli menempati dataran tinggi pegunungan seperti Tepal, Dodo dan Labangkar.

Bahasa
Suku Sumbawa menyebut diri mereka sendiri sebagai Tau Samawa dan menggunakan bahasa Samawa. Bahasa Sumbawa menjadi bahasa persatuan atau bahasa pengantar di pulau ini, sehingga etnis-etnis pendatang yang tinggal di pulau ini pun berbicara dalam bahasa Sumbawa.

Menurut Mahsun (2002), bahwa bahasa Sumbawa Purba pecah menjadi 4 dialek yang ada sekarang ini, sebelumnya terdiri dari 2 dialek, yaitu dialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawa besar yang menjadi cikal bakal dialek Seran. Kemudian berkembang lagi seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, dialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi 3 dialek yang berdiri sendiri.

Dalam bahasa Sumbawa sekarang dikenal beberapa dialek bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu dialek Samawa, Baturotok (Batulante) dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen (Selesek), serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh dan dialek Tongo.
Selain itu masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar, yang merupakan keturunan campuran etnis Bajau yang berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh orang di kampung Sampir yang merupakan keturunan campuran etnis Mandar, Bugis dan Makassar.

Mata Pencaharian Suku Sumbawa
Masyarakat suku Sumbawa pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi di sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Dalam menggarap ladang mereka masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses penanaman beberapa jenis tanaman pangan. Kegiatan lain adalah menangkap ikan. Mereka menggunakan peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring dipakai untuk menangkap ikan di laut. Selain itu mereka juga berburu (nganyang) dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan membawa beberapa ekor anjing pemburu. Kegiatan lain mereka adalah meramu hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional.
Mereka juga memelihara hewan ternak seperti kuda, sapi, dan kerbau yang biasanya dilepas di padang-padang gembala.

Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
  • Senjata
    Lelaki desa Samawa biasa mengikatkan parang panjang di pinggang ketika akan ke sawah. Parang Sumbawa yang dilengkapi dengan sarung dari kayu yang indah dan berhias.
  • Alat Musik
    Gong Genang : musik orkestra Sumbawa, terdiri dari 1 gong, 2 genang dan 1 serune. 

Makanan
Makanan yang dikonsumsi sehari-hari adalah beras campur jagung, beras campur kedelai atau beras campur ubi kayu.

Rumah
Beberapa keluarga inti dapat tinggal dalam satu rumah panggung. Rumah yang didirikan di atas tiang kayu yang tingginya 1,5 – 2 meter dengan tipologi persegi panjang, atapnya berbentuk seperti perahu yang terbuat dari bambu yang dipotong-potong (kini banyak diganti dengan genting). Pada bagian depan atau belakang dipasang anak tangga dalam hitungan ganjil antara 7, 9, 11 bergantung keperluannya.

Kesenian
Pacuan Kuda

Seni Kelingking
Tari Tanak
Tari Aris Tanewang
  • Lawas : media hiburan, tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumbawa. Lawas diwariskan dan diturunkan dalam bentuk lisan. Lawas dilantunkan ke dalam berbagai bentuk seni, seperti Seni Balawas, Rabalas Lawas, Malngko, dll.
  • Pacuan Kuda
  • Seni Kelingking : membuat ornamen atau hiasan pada suatu benda tertentu dengan menggunakan teknik menghias. Ragam hias kelingking memiliki makna tertentu bagi masyarakat Sumbawa.
  • Tari Tanak : tarian persembahan bagi raja.
  • Tari Aris Tanewang : gambaran sikap pemuda pemudi pesisir dalam semangat hidup untuk mencapai masa depan cerah.

Kepercayaan dan Tradisi
Bukti-bukti arkeologis yang diketemukan di wilayah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara, dan menhir mengindikasikan bahwa suku Sumbawa purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan paradaban Islam di Sumbawa kini.

Diperkirakan agama Hindu-Budha berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum masuknya Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh.

Mayoritas suku Sumbawa saat ini memeluk agama Islam. Namun ada sebagian kecil masyarakat suku Sumbawa yang memeluk agama Islam Wetu Telu. Aliran Islam Wetu Telu ini agak berbeda dengan agama Islam di Indonesia pada umumnya, diperkirakan penganut aliran Islam Wetu Telu ini hanya sekitar 1% dari jumlah total suku Sumbawa. Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang.

Orang Sumbawa termasuk fanatik dalam memeluk agama Islam. Bahkan begitu sensitif dan mudah digelorakan untuk berjihad demi membela kepentingan agamanya, serta kelihatan antipati dan menolak terhadap bentuk-bentuk keyakinan agama lain selain Islam.

Pasca ‘penaklukkan’ Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi proses Islamisasi berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam lawas:
  • Ling dunia pang tu nanam (di dunia tempat menanam)
  • Pang akhirat pang tu matak (di akhirat tempat menuai)
  • Ka tu boat po ya ada (setelah beramal baru memetik hasilnya)
  •  Na asi mu samogang (jangan kamu menganggap remeh) 
  • Paboat aji ko Nene’ (mengabdi kepada Allah)
  • Gama krik slamat dunia akhirat (demi keselamatan dunia akhirat)

    Semenjak munculnya pengaruh kebudayaan Islam, boleh dibilang suku Sumbawa tidak mengenal unsur-unsur kepercayaan agama lain. Hanya Islamlah yang mampu mempertautkan rasa persaudaraan dan mempersatukan berbagai perbedaan etnik pendatang yang telah turun-temurun menjadi suku Sumbawa ini. Oleh karenanya, ungkapan-ungkapan seperti to tegas ano rawi ke? No soka ungkap bilik ke? Tempu tama dengan nya ke? menunjukkan betapa penting arti Islam bagi suku Sumbawa.

    Suku Sumbawa percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.

    Untuk menangkal gangguan makhlus halus yang jahat dan berbagai bentuk sihir seperti burak, sekancing, lome-lome, pedang pekir, dan sebagainya sebagian suku Sumbawa sering memakai jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat pinggangnya. Mereka juga percaya dan mendatangi sandro. Selain kepercayaan kepada orang-orang tertentu yang punya kekuatan gaib dan memilki kemampuan meramal nasib, suku Sumbawa juga mempercayai suara cecak dapat membenarkan perkataan seseorang, mendatangkan keberuntungan maupun sebaliknya, bahkan sangat percaya bila dalam perjalanan bepergian mereka bertemu orang buta berarti pertanda sial baginya.

Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan dan keturunan suku Sumbawa adalah bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama misaleaq untuk saudara tua ayah atau ibu, dan nde untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.

Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mirip dengan prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa.

Masyarakat Suku Sumbawa

Pada masa sekarang seorang kepala desa (kepasa kampong) dibantu oleh para penasehat yang disebut loka karang, mereka terdiri dari orang tua-tua dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Selain itu kepala desa juga dibantu oleh seorang malar (juru tulis dan pengawas tanah-tanah desa) dan seorang mandur (penghubung). Dalam kehidupan beragama yang disebut hukom di dalam setiap desa dikenal pemimpin seperti penghulu, lehe, modon, ketih, marbot, dan rura. Sebuah desa terdiri dari beberapa buah keban, yaitu anak perkampungan (dusun). Setiap keban terdiri dari satu atau dua pekarangan luas yang diberi pagar dengan empat sampai tujuh buah rumah. Di lingkungan seperti itulah keluarga-keluarga Sumbawa tinggal dan memanfaatkan pekarangannya untuk menanam pohon buah-buahan, tebu, dan tumbuh-tumbuhan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Pusat orientasi pemukiman desa ini adalah masiget (masjid) tempat masyarakat melakukan sembahyang jumat dan kegiatan keagamaan lainnya.

Masyarakat Sumbawa mengenal pelapisan sosial, karena adanya tiga golongan masyarakat yaitu golongan bangsawan yang biasanya bergelar datu atau dea, golongan merdeka yang biasanya disebut tan sanak, dan golongan hamba sahaya yang disebut lindia. Golongan bangsawan muda digelari Daeng, tapi kalau sudah mempunyai anak dipanggil Datu. Anak hasil perkawinan seorang datu dengan orang biasa dipanggil dengan gelar Lalu bagi laki-laki dan Lala bagi perempuan.

Sumber :